Genderang, Gelandang
Desa ini tak layak. Begitu semburat anak-anak tak
mengenal pendidikan. Yah, tepatnya anak gelandangan. Termasuk didalamnya, Joni
kecil. Joni berbeda dengan anak-anak disekelilingnya. Meski mengenyam
pendidikan hanya mampu kelas lima seolah dasar, Joni tak patah semangat untuk
mengejar cita-citanya menjadi guru. Bukan hal asing bila Joni berjuang untuk
melanjutkan pendidikannya.
Tak peduli panas hujan, disetiap perhentian perempatan
jalan, Joni berdendang ria menghibur pengguna jalan dengan harapan ada sedikit
rezeki untuknya. Meski umurnya baru menginjak sembilan tahun, Joni rela bekerja
demi menghidupi kedua orang tuanya yang telah lanjut usia. Baginya dapat
melihat mamak-bapaknya kenyang sudah cukup. Namun, disisi lain Joni menyimpan
keinginan yang teramat besar untuk melanjutkan pendidikannya yang terhenti.
Selepasnya berdendang, maka Joni pun memutuskan untuk
memberikan dua bungkus nasi untuk kedua orang tuannya. Berjalanlah ia dengan
memanggul gitar kecil di punggung. Setelah membelikan nasi putih lauk tempe
untuk orang tuanya. Joni berjalan pulang menyusuri jalan-jalan kejahatan menuju
perkampungan kumuh, dimana kedua orang tua
Joni sedang menunggu kedatangannya.
“Assalamualaikum.”
“Wa’alaikum salam, nak.”, jawab mamak-bapak serentak.
“Alhamdulillah Joni mendapat rezeki, jadi Joni buat belikan makanan untuk
mamak sama Bapak.” Menyerahkan dua bungkus makanan kepada mak.
“Aduh le, tak usahlah kau kerja keras demi orang tuamu
ini. Kerja kerasmu seharusnya untuklah kelanjutan pendidikanmu .”, Ujar mak
Joni, memeluk Joni dengan bangga. “Betul kata mamakmu le, tak usahlah kau
pikirkan kami. Mamak-bapakmu ini masih bisa mengais rezeki untuk sekedar makan
keluarga kecil ini, cukup kau do’akan saja mamak-bapakmu ini sehat walafiat.”
Lanjut bapak joni, menatap joni meyakinkan. Joni tersenyum.
Maghrib menjelang, langkah kaki Joni tertatih memeluk
kitab suci menuju mushola yang cukup jauh di ujung kampung. Setelah sholat, tak
lain Joni mengaji disudut mushola dengan beberapa tamannya. Salah satu temannya
yang bernama Alif, putra dari orang berada di pinggir kota. Tak segan-segan
Joni meminjam buku sekolah Alif untuk membantunya mengejar pendidikan.
Sering Joni pulang larut malam,
mamak-bapak Joni memaklumi.
Hari esok menjelang. Tak ada gitar yang menggantung di
punggung Joni. Gitar kecil bergantilah dengan seragam sekolah lengkap dengan
topi dan dasi. Beberapa hari lalu, memang pihak desa memberikan beasiswa untuk
anak-anak di perkampungan termasuk juga Joni. Tak ingin ketinggalan, segera
Joni meluncur.
“Mamak-Bapak, Joni berangkat sekolah”
“Iya le.” Ujar mamak-bapak
Tapi, tak malukah kau menggunakan sepatu nan tak layat itu le?” tambah mamak
seraya menatap penuh keyakinan pada sang anak.
“Tak apalah mak, yang penting ilmu bukanlah sepatu.”
“Pintar sekali rupanya anak mamak-bapak ini” mamak-bapak
Joni tersenyum.
“Assalamualaikum , mak-pak”
“Waalaikumsalam, hati-hati ya le.”
Jalanan kumuh, menyusuri sungai dekat perkampungan,
melewati jalanan kota yang jahat seolah tak memperdulikan nasib nasib yang di
kandung badan. Yah, beginilah usaha Joni untuk sampai ke sekolah SD, sekolah
yang jauh dari kemewahan namun layak untuk kegiatan sekolah.
Sampailah Joni di sebuah tempat yang memang sangat ingin
Joni kunjungi. Bukan hanya Joni, namun juga seluruh teman-teman di kampungnya
yg ingin bersekolah. Yah, saat itu Joni mendapat beasiswa untuk melanjutkan
seolahnya yg sempat tertunda di kelas lima. Namun, saat ini Joni bisa duduk di
kelas enam karena kapintarannya.
“Assalamualaikum.” Saat Joni memasuki ruang kelasnya.
Tak ada jawaban salam dan tak ada sambutan maupun sanjungan dari penghuni
kelas. Seisi kelas tak lain memandangi Joni dari ujung kaki sampai ujung
kepala.
“Hei, ini bukan tempat gelandangan berkumpul” sapa Banu yang tak lain murid
terkaya disekolah itu.
“Oh, saya bukan ..... “ belum selesai Joni berucap,
sebuah suara lembut menyapanya. Pemilik suara itu tak lain salah satu dari guru
yang mengajar disekolah ini. Bu Ratna namanya.
“Kenapa kau tak masuk nak?” tanyanya ramah.
“Emm... ” jawab Joni ragu.
“Ibu baru tahu kamu nak, apakah gerangan murid yang diberi beasiswa dari
kampung nan di ujung sana?”
“I...iya Bu.”
“Alah, jangan bohong kau, kau itu gelandangan yg saah masuk tempat!” Teriak
Banu dari bangku paling depan.
“Banu!” tegur Bu Ratna. “Silahkan masuk nak, ini sekolah kita tempat
belajar kita. Mari nak. “ tambahnya.
*****
Satu tahun telah berlalu,
selama itu pula Joni bersekolah dengan alat pendukung seadanya. Tak cukup itu,
Joni rela berjualan koran, mengamen di perempatan jalan setiap pulang sekolah untuk
memenuhi kebutuhan sekolahnya. Joni juga sering meminjam buku-buku bekas pada
temannya Alif. Itu semua tak mengurungkan prestasi Joni. Kata teman dan guru di
lingkungan sekolah Joni, Joni merupakan anak yg tekun, rajin pula. Tak jarang
Joni mendapaat peringkat satu dalam setiap semester. Guru-guru sangat bangga
pada Joni.
Sore menjelang. Joni
segera pulang, ia belikan hasil kerjanya demi bungkusan makanan untuk mamak dan
bapaknya. Setiba dirumah, Joni segera menghabiskan makanannya dan segera
mengambil wudhu untuk melakukan sembahyang di Mushola, Ujung kampung. Doa-doa
dipanjatkan untuk suatu kehidupan yang
sulitbagi Joni dan kedua orang tuanya.
Malam itu, bintang
gemerlapan di langit, seolah memberikan penghormatan kepada sang Khaliq.
Waktu dimana tercipta suatu keheningan yang mendalam. Terdengar suara angin
malam, hewan malam, dan suara bibir setiap insan yang membaca ayat-ayat suci
wahyu Allah.
Fajar mulai menyingsing.Segera Joni sembahyang. Setelahnya, Joni bergegas pulang. Tak seperti
biasanya, Joni enghampiri mamaknya yang tengah tertidur, ia cuci kaki mamaknya.
Seketika itu mamaknya kaget dan terbangun dengan apa yang telah dilakukan Joni.
Mamak Joni menangismelihat anaknya yang begitu tulus mencuci kakinya. Bapak
Joni pun terharu .
“Mak-Pak, doakan Joni ya. Joni akan melaksanakan ujian kelulusan sekolah.”
Ucap joni tertunduk.
“Iya Jon, doa mamak bapakmu selalu menyertaimu” Jawab mamak seraya mencium
Joni.
*****
Sesampainyasekolah. Joni
tak lagi menghiraukan ejekan teman-temannya, termasuk Banu yang merupakan anak
rentenir kaya raya yang sering meminjamkan uang dengan bunga sangat besar di
kampung Joni. Joni melesat menuju kelas, membuka buku-buku yang mungkin
dianggap sudah tak layak bagi teman-teman-teman disekolahnya. Ditatapnya Joni
oleh seseorang, Alif tepanya.
“Halo, Jon. Sedang apa kau?”
“Membaca buku untuk ujian ini. Tak belajarkah kau, Lif?”
“Emm, aku tak mengeriti tentang materi yang akan diujikan kali ini.
Bolehkah aku bergabung denganmu? Dan maukah kau menjelaskannya untukku?” Jawab
Alif tertunduk malu.
“Dengan senang hati. Mari.” Joni tersenyum.
Dengan gaya soknya, Banu melewati kelas dan melihat apa
yang terjadi antara Joni dangan Alif. Ya memang terlihat aneh, seorang yang
bisa dibilang lumayan pintar atau sebut saja Alif berguru pada seorang yang ia
sebut sebagai gelandangan, siapa lagi kalau bukan Joni.
*****
Saat malam tiba, berjalanlah Joni menuju tempat yang
sangat sepi namun indah. Disana Joni belajar mati-matian mempersiapkan
pelajaran yang di ujikan besok dan lusa agar kelak ia bisa menjadi apa yang ia
cita-citakan. Jika lelah joni memandang langit yang penuh dengan gemerlap
bintang ciptaan tuhan hingga ia tertidur.
Pagi menjelang. Hembusan angin membangunkan Joni yang
saat itu tertidur di sebuah bukit kecil. Segera jonibereskan buku-buku lusuh
yang mengelilinginya.
Sesampainya di rumah, Jonimengerjakan segala pekerjaan
rumah, memasak untuk mamak dan bapak, mecuci pakaian dan segala hal Joni
lakukan. Ketika mamak bangun,
“Ada apakah kau, Jon?”
sapa mamak setengah ngantuk.
“Tak apalah mak. Joni
hanya ingin membantu mamak“
“Tak usahlah Jon, bukankah kau masih harus melaksanakan ujian
kelulusan?Belajar sana!” perintah mamak.
“Iya mak.”
Joni meluncur menuju alas tidurnya. Bukan untuk tidur,
namun untuk belajar. Banyak sekali tumpukan buku bekas yang lusuh termasuk
koran bekas yang menurutnya dapat mendukung sekolahnya. Dibukanya buku itu satu
persatu, perlahan takut terlepas dari pasangannya. Sampai akhirnya, jam sekolah
tiba.
Joni berlari, ingin segera sampai di tempat yang ia
yakini dapat menuntunnya ke jalan kesuksesan. Tak lupa ia meminta do’a restu
kepada sang mamak. Di jalan, Sosok perempuan berteriak tertahan dari dalam
rumah Joni. Yah, tepatnya menahan rasa sakit.
“Mamak?” Joni kaget
“Udah le, mamak tidaklah kenapa-kenapa hanya tergores
pisau.Sudah kamu lanjutkan perjalanan suksesmu. Janganlah kau sepeti mamak-bapak
ini yang tak memiliki pendidikan.”
Merasa ada yang mengganjal, Joni bertanya “Mak, bapak kemana?”
“Bapak lagi bikin karung pesanan Jon, di belakang.”
“Oh, yaudah mak. Joni berangkat sekolah sekalian pamit sama bapak.
Assalamualaikum.” ucap Joni sambil maraih tangan mamak untuk pamit.
“Waalaikum salam” jawab mamak.
Joni menuju belakang
rumah, namun tak ditemui bapaknya. Joni mencari kasana kemari tak dia temui
juga. Hingga salah satu tetangganya yang sedang memunguti plastik bekas memberi
tahukan perihal bapak Joni berada. “Bapak kamu lagi dirumah rentenir Jon.”
Mendengar hal tersebut Joni tersentak kaget. Segera ia berlari menuju rumah
rentenir yang di tunjukkan tatangganya.
Setibanya , Joni dapati
bapaknya yang babak belur penuh dengan luka lebam sedang bersujud di depan rentenir kejam itu. Joni menangis dan
menhampirinya.
“Bapak kenapa? Kenapa bapak disini? Apa yang bapak lakukan?.” Terocos Joni
terisak dan membantu bapaknya untuk berdiri. Belum sampai bapaknya menjawab,
rentenir itu angkat bicara.
“Perlu kamu tau anak kecil, bapak mu ini berusaha mencari pinjaman uang
dengan jumlah sangat banyak padaku untuk kelanjutan sekolahmu. Namun aku tahu,
jika aku pinjami keluarga miskinmu tak akan pernah sanggup mengembalikannya
tepat waktu.”
Joni terdiam, memandangi
bapaknya yang penuh luka dihajar anak buah rentenir. Hingga akhirnya.
“Tak perlu kami meminjam uang kepada bapak, kami sanggup mencarinya
sendiri.” Joni melawan.
“Dengan keadaanmu dan orang tuamu yang renta ini?” Rentenir itu tak
percaya.
“Tentu.” Joni menjawab seraya memapah bapaknya untuk pergi meninggalkan
tempat tersebut.
Beberapa langkah Joni
menjauhi rentenir itu, anak buahnya mencegah agar tidak pergi. Rentinir itu
mendekati Joni.
“Oke, aku akan memberikan
biaya gratis untuk kelanjutan sekolahmu sampai SMP serta mensejahterakan
kehidupan keluargamu, jika nilai ujian kelulusanmu kali ini terbaik bukan
sekedar di sekolah melainkan terbaik sekota. Jika kamu gagal, kamu beserta
keluargamu harus pergi dari kampung ini. Bagaimana?” Rentenir itu memberi
tawaran serta mengancam keluarga Joni. Belumsempat Joni menjawab, dengan tegas
bapak Joni mengatakan “Iya, aku setuju”. Joni yang saat itu bingung, kaget
bukan kepalang mendengar jawaban bapaknya.
“Alah, mana mungkin bisa
anak gelandangan bisa mendapat hasil ujian terbaik sekota raya? Mustahil!” ejek
Banu yang tiba-tiba muncul dibalik pintu.
“Sudahlah, kita buktikan saja!” ujar bapak joni yang merintih kesakitan.
Tak menghiraukan apa yang telah terjadi, Joni memapah bapaknya pulang.
Hingga akhirnya bapak menyuruh joni untuk pergi sekolah agar tidak terlambat.
Hari itu adalah hari
terakhir ujian kelulusan sekolah, Joni sepenuhnya siap mengerjakan soal. Namun,
dalam hati Joni merasa takut akan ancama rentenir itu jika ia gagal. Sebersit
semangat menyelinap pikiran Joni, “AKU BISA” gumam Joni.
Bel berbunyi semua siswa
bersiap di tempat masing-masing. Banu yang saat itu duduk di sampingnya, tak
henti-henti mengejek dan merendahkan Joni. Namun, tak berpengeruh bagi Joni.
*****
Hari demi hari
berlalu. Hingga akhirny pengumuman kelulusan tiba. Berdebar kencang jantung
Joni, karena masa depan dan keberlangsungan keluarganya bergantung pada nilai
kelulusan Joni. Tak hanya Joni, semua siswa berdebar-debar termasuk juga Alif
dan Banu. Banu takut kalau ia tidak Lulus karena selama ujian tak sedikit pun
ia belajar. Berbeda dengan Alif, Alif taku jika hasil ujiannya tidak memenuhi
prasyarat masuk ke sekolah lanjutan impiannya.
Hasil ujian diumumkan kepala sekolah di aula. Setiap anak
menyimak dengan baik apa yang disampaikan. Ada yang menangis bahagia karena
hasil ujiannya memuaskan, ada yang bersorak –sorai, jikrak-jikrak. Tetapi, rasa
cemas akan hasil ujian kelulusan masih menghantui Joni juga Banu, karena hanya
hasil ujian mereka yang belum diumumkan.
“Patutlah kita sekalian bahagia dengan prestasi yang
telah diraih siswa teladan ini. Ia anak orang tak mampu, namun bisa
mengharumkan nama baik sekolah kita. Ia mampu memperoleh nilai tertinggi, tak
hanya di sekolah kita melainkan nilai tertinggi sekota raya. Ya, siapa lagi
kalau siswa kita yang bernama Joni.” Pidato lantang kepala sekolah dengan
bangga.
“Tak cukup hanya itu, pihak koya juga memberikan beasiswa
pada Joni hingga perguruan tinggi jika nilainya tetap di pertahankan.” Lanjut kepala
sekolah. Mendengar hal tersebut Joni masih tak percaya hingga ia melihat
sendiri hasil ujiannya. Betapa senangnya Joni saat itu.
Berbeda dengan
Banu yang masih cemas dengan nilainya.
“Banu?” panggil kepala sekolah pelan. Banu menghampiri
kepala sekolah. Dengan berat hati kepala sekolah menyerahkan nilai hasil ujian
Banu. Spontan banu kaget karena nilai ujian Banu terendah diantara teman-teman
yang lain, saat itu juga Banu menanis.
*****
Sesampainya dirumah, Joni menyampaikan berita
menggembirakan itu kepada mamakdan bapaknya. Ttak terbayang kebayhagiaan yang
dirasakan keluarga Joni.
Sore menjelang, terdngar suara seseorang mengetuk pintu
rumah Joni. Joni bukakan pintu dan ternyata, Banu beserta bapaknya berkunjung
ke gubuk lusuh keluarga Joni.
“Ada apakah bapak sudi berkunjung kegubuk kami ini?”tannya ibu Joni setelah
mempersilahkan mereka duduk di ruang berpetak.
Bapak Banu yng seorang rentenir itu menjelaskan maksud
kedatangannya. Banu beserta bapaknya meminta maaf atas perlakuan mereka
terhadap keluarga Joni. Dan sesuai kesepakatan saat bapak Joni meminta pinjaman
uanguntuk kelanjutan sekolah Joni, bapak Banu akan membiayakan pendidikan Joni
sampai SMP dimana pun Joni inginkan dan mensejahterakan kehidupan keluarga
Joni. Lengkap sudah kebahagiaan keluarga Joni.
Dengan usaha keras Joni, semakin mudah dan semakin dekat ia meraih
cita-citanya.
###